Rabu, 19 November 2008

Herry Nurdi Belajar dari Al-Fatih

Bandung - Sebelum memulai sidang Seminar Al-Aqsha Haqquna ”Aksi Nyata Mengembalikan Al-Aqsha ke Pangkuan Muslimin” di Gedung Pos Bandung, dengan tenang dan tersenyum, setelah salam, tahmid, dan shalawat, Ustadz Herry Nurdi menyapa sekitar 1.200 peserta.

“Ikhwan akhwat, untuk mengalahkan Zionis Israel, dan mengembalikan Al-Aqsha ke pangkuan muslimin, kita tidak butuh banyak orang, tapi sedikit saja asalkan kuat dalam ibadah,” ujarnya mengawali pembicaraan.


Lalu, dengan tenang saja ‘Bang Heri’ begitu ia akrab disapa berkata, “Bapak Ibu saudara, mari kita belajar dari Muhammad Al-Fatih, imam terbaik dengan pasukan terbaik, ketika mereka sanggup membebaskan Konstantinopel ke pangkuan muslimin,” sapanya.


“Coba bapak ibu seluruh peserta kami mohon berdiri,” pintanya. Spontan seluruh peserta pun berdiri sambil senyum-senyum, sambil tentu saja ada yang bertanya-tanya, “Apa maksudnya,” gumam peserta.


Lanjutnya, “Sekarang saya mau mengajukan tiga pertanyaan, nanti yang merasa agar duduk,”. Pertanyaan pertama, Siapa yang di antara kalian yang sejak akil baligh sampai sekarang tidak pernah meninggalkan shalat fardhu!”. Sambil malu-malu, senyum-senyum simpul, ada juga yang tertawa, tertegun duduk rapi. Tinggal tersisa sekitar tidak lebih dari hitungan jari tangan saja orang yang masih berdiri.


“Pertanyaan kedua, siapa di antara kalian yang sejak akil baligh sampai sekarang tidak pernah meninggalkan shalat nawafil atau sunah!”. Semua peserta pun duduk, sambil riuh gemuruh.

“Belum kami Tanya yang ketiga, siapa di antara kalian yang sejak akil baligh hingga saat ini tidak pernah meninggalkan shalat tahajud!” Masya Allah.


Itulah Al-Fatih, ketika akan memimpin sekitar 6.000 pasukannya untuk menghadapi tentara super power pada jaman itu di Konstantinopel. Pada pertanyaan pertama Al-Fatih, sekitar 3.000 pasukannya masih berdiri. Pada pertanyaan kedua, tinggal separonya lagi. Begitu pertanyaan ketiga ketika menanyakan yang tidak pernah meninggalkan shalat tahajud sejak akil baligh sampai dewasa. Itulah tinggal satu orang yaitu Al-Fatih sendiri yang masih berdiri.


“Belajar aqidah kuat kepada Al-Fatih sangat penting dalam membebaskan Al-Aqsha ke pangkuan muslimin menghadapi Zionis Israel. Insya Allah dengan membiasakan diri memperhatikan masalah shalat, mulai dari shalat fardhu, shalat nawafil, hingga shalat tahajud, menjadikan kita kuat karena dikuatkan Allah,” papar wartawan muda yang gemar memakai sarung itu.*


Butuh waktu pembuktikan sekitar 800 tahun sejak Nabi Muhammad menyabdakan akan bebasnya Konstantionopel oleh pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik, yakni Al-Fatih.

“Mungkin kita tidak melihat dengan mata kepala sendiri pembebasan Al-Aqsha itu. Tetapi paling tidak kita telah memulainya. Tinggal anak cucu kita yang harus lebih keras lagi perjuangannya mengembalikan kerhormatan islam dan muslimin. Hingga arwah kita pun bisa tidur dengan tenang,” imbuhnya.* (sumber : www.jamaahmuslimin.com)

Senin, 10 September 2007

Harmonia Victoria

Di bawah bulan, sesosok malaikat melesat tergesa ingin memberitahu seluruh jagad tentang berita gembira yang baru saja ia dengar. Secepat cahaya. Sang Bulan tak sempat bertanya, namun matahari sudah tersenyum lebih dulu, membuat arak-arakan awan dengan penuh pengabdian bersedia mecerai beraikan kawanannya agar sorot cinta Sang Mentari tidak terhalang sampai ke taman itu, menghangatkan bebungaan anggrek dan melati yang sedari malam bertasbih seraya menunduk penuh syukur atas tibanya satu masa yang lama dinantikan oleh seribu galaksi di tepi tembok langit.

Kumbang-kumbang baru saja mulai bangkit setelah suntuk semalam menangis haru. Sambil mengusap air mata mereka merangkak-rangkak mendaki-daki tangkai-tangkai meraih-raih kelopak-kelopak yang subhanallah, terlihat sangat jelita pagi ini seakan sedang dijadikan cermin oleh para bidadari surga yang hari ini bersolek lantaran bahagia tidak kepalang. Namun kupu-kupu yang sayapnya berwarna emas keburu hinggap di atas kelopak melati, berlutut penuh wibawa di depan warna putihnya, laksana seorang ksatria yang baru saja sampai di hadapan jendela sang putri yang baru bangun.

Sayapnya memantulkan cahaya yang membuat silau para kumbang, membikin iri lilin-lilin yang satu demi satu dimatikan apinya, sebagian karena angin. Sejuk, angin itu membawa aroma parfum yang biasa dilumurkan ke tubuh para bidadari surga, menggesek dedaunan dan wush...bunga-bunga menari dengan harmoni. Kupu-kupu beranjak, kumbang-kumbang ikut beterbangan berputar-putar, membuat ritmik ritual tarian yang unik, mengundang sepasukan capung bergabung ke pesta itu dan bergairah untuk merayakan hari ini.

Dan orkestra pun dimainkan, suara gesekan angin pada melati dan anggrek berpadu dengan dengungan sayap kumbang dan nyanyian capung-capung, harmoni alam yang indah, dan hey!...Dengar...suara anak-anak kecil riang berlari berputar-putar seakan mereka baru saja dilahirkan. Pakaian mereka putih suci, membentuk barisan naga yang dikepalai seorang bocah yang nyegir menampakkan barisan giginya. Ia menyelimuti dirinya dengan bendera hitam, bendera kemenangan, panji kaum pejuang yang ia ikat ke lehernya seperti Superman, berkibar karena ia lari melawan arah angin. Tertawa-tawa, kaki-kaki mereka telanjang memijak rerumputan yang baru saja tumbuh tadi subuh. Berlari-lari di antara rumah-rumah tembok berpintu kayu. Kucing-kucing terbangun dan segera beranjak dari depan pintu-pintu sesaat sebelum dibuka oleh para tuan rumah.

Orang-orang sekampung berhamburan ke tanah-tanah berumput, memakai pakaian terbaik mereka, indah, berwana-warni seperti kumpulan permen, menyanyi-nanyi dan meniup terompet, dan lagu itu dimainkanlah. Orang-orang tua menyisir kumis mereka, para ibu mengelilingi kuali sedang memasak sajian paling istimewa. Kaum perawan keluar dari persembunyian usai menganyam kain-kain selendang, mereka ikut menari-nari dengan wajah halus berseri, cahaya bebintang telah pindah ke bola-bola mata mereka hingga jin-jin jatuh terpesona menyaksikan jari-jari lentik itu membuat iringan dengan lambaian kerudung putih melati.

Sungai kecil mengalirkan air terjernihnya membasuh dahaga panjang negeri yang kering terbakar kerinduan akan saat-saat di mana tinta hanya akan menuliskan sabda Langit dan mata pena setajam lidah para ulama. Ikan-ikan keperakan membelalakan mata bergembira telah tiba di sebuah negeri yang dipenuhi percikan susu dari sungai surga hingga batu-batu menyingkir agar tidak menghalangi mereka terbawa arus yang membasuh kaki-kaki mungil anak-anak suci yang mulai memukul-mukul permukaan air hingga percikan-percikan itu bersemburat ke sekeliling lalu ditembus oleh cahaya surya hingga terbentuklah warna-warna jingga, ungu, hijau, biru membuat pipi merah mereka terlihat lebih rona dan gigi-gigi mereka tidak terlihat ompongnya.

Lalu derap kuda-kuda pilihan, hitam, putih, coklat yang gagah bergema. Rambut mereka tersibak angin dan mereka memejam-mejamkan mata seolah menikmatinya seperti telah berabad berada di medan perang yang tak berangin lalu menyengir untuk menebarkan salam kemenangan pada seisi kampung. Di atas punggung mereka terduduk gagah pemuda-pemuda yang cengkeramannya tidak pernah melemah, menatap tajam ke depannya sembari berzikir tiada henti. Dahi mereka menghitam rahang mereka mengeras dihiasi baret-baret luka dan bonyok menemani kantung mata yang menyiratkan peluh lantaran jarang tidur dan menghabiskan malam-malamnya untuk menyerap Kekuatan Langit. Salah satu di antara mereka telah kehilangan salah satu mata, yang lainnya kehilangan sebelah tangan, ada juga yang kehilangan daun kuping, namun mulut mereka yang sedari tadi berzikir perlahan membuka menampakan gigi-gigi rontok tersenyum karena menemukan hijau rumput kemilau yang mereka impi-impikan gumam-gumamkan sepanjang perjalanan di atas pasir dan batu.

Sampai di sungai tapal-tapal kaki-kaki kuda-kuda itu membenam di air mengejutkan ikan-ikan karena tiba-tiba mencium bau-bau negeri-negeri bermusim-musim di seberang padang dan seberang laut. Seorang Ksatria turun dari kudanya lalu meletakan panji hitamnya di atas rumput dengan penuh khidmat dan kehormatan, kemudian perlahan mendekat ke sungai dan membasuh wajah melunturkan bercak-bercak darah yang membawa kabar kematian orang-orang pengkhianat yang tidak mau mengenal Tuhan mereka.

Dan lagu itu masih dimainkan menandakan orang-orang tadi : anak-anak tua-tua ibu-ibu gadis-gadis berbarengan mendekati para Ksatria sambil berseri-seri menampakan kehangatan dan persaudaraan sambil mengibarkan penuh riang panji-panji hitam dan putih menari-nari berputar-putar melompat-lompat mengibarkan jubah-jubah berwarna-warni, kerudung-kerudung putih, topi-topi jenaka hingga kawanan kumbang itu, capung dan kupu-kupu menghentikan tariannya dan sepakat untuk bergabung dengan para manusia lalu ikut menari-menari-nari dan berputar-putar.

Sebuah sambutan yang tak terduga dengan ekspresi kemenangan yang semarak, para Ksatria terharu lalu menangis dan berpelukan antara sesama mereka kemudian bersujud menempelkan dahi, hidung dan bibir mereka di atas rumput sambil melantunkan

Alladziina aamanuu wa haajaruu wa jaahadu fii sabiliillaahi bi amwaalihim wa anfusihim a’dzamu darajatan indallaah wa ulaaika humulfaaizuun...

Dan malaikat tadi sudah selesai memanggil kawan-kawannya lalu beribu pasang sayap turun membumi dan seketika mendengar lantunan para Ksatria mereka bersujud hingga matahari menyangka bahwa sepotong taman surga telah terjatuh ke atas bumi. Terima kasih iman.[]

Cimahi, 9 September 2007

Jumat, 27 Juli 2007

Mimpi Tujuh Abad

"Sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukan Konstantinopel dam sebaik-baik Panglima adalah panglim yang memimpin pasukan yang menaklukan Konstantinopel", begitu sabda Rasulullah di tengah paraq shahabat. Waktu itu Byzatium alias Romawi Timur merupakan sebuah dinding kokoh yang penuh dengan legenda heroik, buku-buku sejarah Romawi diisi oleh kisah-kisah penaklukan, perang yang selalu dimenangkan, formasi infanteri yang ditakuti. Romawi adalah profil imperium yang menggenggam cincin kekuasaan dunia.

Oleh karenanya, barangkali jika saya hidup pada masa itu, mimpi menaklukan Konstantinopel akan saya anggap utopis. Apa sih yang bisa dilakukan oleh para penghuni gurun yang tidak punya sejarah selain perang antar suku? Kekuatan apa yang dipunyai oleh kumpulan manusia yang tidak pernah dilirik oleh adidaya-adidaya yang penah menguasai dunia?

Tapi apa mau dikata. Sejarah Islam bergulir. Dinamika masyarakat peradaban yang diwarnai oleh berbagai motif manusia mengisi lembar-lembar sejarah yang tidak selalu putih. para Sultan boleh memimpin dan saling berebu tahta silih berganti, namun mimpi penaklukan itu terus menghantui setiap generasi. Pemuda-pemuda itu penasaran, maka ekspedisi itu terus dilakukan. Dua dinasti telah berkali-kali mengirim pasukan ke Konstantinopel, tujuh abad berlalu sejak sabda itu terucap dan mimpi itu belum juga terwujud.

Namun ada satu konsistensi di sini. Ekspedisi itu tidak pernah berhenti hanya lantaran trauma atas kegagalan masa lalu. Setiap ekspedisi baru adalah titik nol. Itulah yang menegasikan kekecewaan dan melupakan pengalaman pahit itu. Dan Iman menanamkan aksioma di alam bawah sadar bahwa mimpi itu tidak mungkin tidak terwujud. Pasti terwujud, karena itu kabar dari langit, namun entah kapan, entah generasi siapa, dan dari bangsa apa pasukan terbaik itu lahir. []

Nilai Mimpi

Kata orang, kisah Kera Sakti yang menempuh perjalanan ke Barat mencari Kitab Suci adalah kisah tentang sekelompok makhluk yang mewakili karakter-karakter yang ada pada manusia. Barangkali Sun Go Kong mewakili karakter pembangkangan, kenakalan, dan ketidak sabaran manusia. Temannya Si Babi adalah sifat kerakusan dan orientasi nafsu yang ada pada setiap manusia, sedangkan temannya yang satu lagi adalah wakil kenaifan sekaligus kesetiaan.

Namun justru bukan di situ inti ceritanya. Raja Langit tidak berhasil mengubah karakter Sun Go Kong walaupun ia dihukum ditimpa oleh gunung lima jari selama lima ratus tahun. Sisi dramatis terbentang ketika Sun Go Kong mulai menemukan sisi-sisi dirinya yang lain setelah bertemu dengan Sang Biksu yang memperkenalkannya dengan sebuah impian baru : Menemukan Kitab Suci di Barat dan menjadi Budha yang kekal.

Perjalanan panjang yang penuh halangan dan rintangan yang menghadang ternyata telah membantu Sun Go Kong menemukan sisi kepemimpinan di samping kepembangkangannya, ketanggungjawaban di samping kenakalannya, dan sisi keteguhan dan konsistensi di samping ketidaksabarannya. “Perjalanan ini harus ditempuh langkah demi langkah”, begitulah biksu itu sering mengulang-ulang. Namun begitu, sesungguhnya perubahan pada diri kera itu bukan hanya hasil mentorship sang guru yang sabar, melainkan juga hasil pergulatan diri Go Kong ketika keangkuhan dan kesombongannya dibenturkan dengan ketakutan, keraguan, dan keputusasaan, dan pada titik kritis itu, kejelian jiwa melihat celah menuju keberanian dan persistensi.

Dan jiwa ini pun menular pada seorang pemuda pengamen di perempatan jalan. Pernah suatu kali lantaran saya tidak punya receh, dan kebetulan mungkin penumpang lain pun demikian, seorang pengamen berlalu dari pintu angkot setelah lama menyanyi. Di wajahnya tidak tergurat sedikitpun kekecewaan atau rasa kesal. Dan saya yakin kejadian itu bukanlah yang pertama kali ia alami pada hari itu.

Gengsi sudah tak berlaku lagi. Mimpi-mimpinya memberi visualisasi yang membius lalu menggerakan akal, hati dan fisiknya untuk mengejarnya. Semua yang ia alami selama perjalanan hanyalah proses yang ada untuk dinikmati, karena tidurnya, lamunannya, gumamannya, sudah menjadi penampakkan kefanatikannya pada mimpinya.

Mungkin mirip dengan seorang gadis remaja yang menempelkan foto-foto seleb idolanya di buku diary dan dinding kamarnya. Namun sebetulnya lebih dari itu. Mimpi ada bukan untuk sekedar dikagumi. Seorang pemimpi sejati tidaklah puas jika ia berjarak dengan mimpinya. Selalu ada upaya keras dan pemaksaan diri untuk memperkecil jarak itu, karena mimpi menuntut dipenuhi.

Sangat mungkin sakit hati terjadi saat mimpi itu begitu sulit untuk terpenuhi, namun “rasa takut akan penderitaan justru lebih menderita daripada penderitaan itu sendiri. Dan tak ada hati yang menderita saat mengejar impian-impiannya, sebab setiap detik pencarian itu bisa diibaratkan pertemuan kembali dengan Tuhan dan keabadian,” begitu tutur sang alkemis pada si anak gembala.

Dan si anak gembala mengulang pada hatinya, “setiap detik pencarian adalah pertemuan dengan Tuhan.” [ ]